Headlines
Published On:Selasa, 19 Maret 2013
Posted by ridhaputra

Kapan pemimpin negeri ini punya akun twitter?


Ilustrasi
DARI tahun ke tahun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin hari semakin cepat. Coba Anda perhatikan rilis produk baru dari vendor-vendor ponsel pintar ternama. Jika dua tahun lalu para vendor merilis produk baru dalam jangka waktu setahun sekali, sekarang mereka merilis setiap tiga hingga enam bulan sekali.
Fenomena ini membuat sebagian besar warga yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, pengusaha, pemerintah, professional, guru kecil maupun guru besar kewalahan mengikuti arus perkembangan teknologi yang semakin canggih ini.
Ini bisa terlihat dari minimnya masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi dengan maksimal seperti memiliki dan aktif di blog, facebook dan twitter.
Bahkan kurikulum sekolah pun tak mampu mengejar materi teknologi informasi yang cepat sekali berubah. Sepuluh tahun sebelumnya kita mungkin tak membayangkan bagaimana teknologi yang kita gunakan saat ini bisa secanggih, semurah dan semudah sekarang.
Kini, nyaris setiap anak muda dan anak “tua” di Aceh minimal memiliki sebuah perangkat teknologi berupa ponsel pintar yang sudah terhubung dengan internet. Melalui alat ini segala sumber informasi “apapun” dapat ditemukan sekejap mata.
Tidak hanya itu, perkembangan teknologi informasi tidak hanya sampai pada titik bagaimana seseorang dapat mencari solusi dan informasi cepat, tapi saat ini telah berkembang bagaimana seseorang bisa terhubung dengan siapapun dengan cara yang cepat, tempat dan tanpa batas kesenjangan strata sosial.
Kini, seseorang bisa mencari orang yang ingin “ditemui” melalui sosial media seperti Facebook, Twitter, Youtube dan melihat semua tulisan seseorang melalui blog pribadinya.
Teknologi murah hanya dengan modal koneksi internet ini telah mengubah gaya hidup seseorang dalam memulai sebuah hubungan pertemanan baru atau menjalin komunikasi tanpa tatap muka, baik itu sebagai teman biasa atau menjadi teman yang “tidak biasa”.
Kalau dulu kita sulit sekali bisa berkenalan dan berinteraksi dengan pejabat, artis, tokoh masyarakat, kini kita bisa terhubung dan berinteraksi hanya dengan modal akun facebook dan twitter, lalu berujung perkenalan di dunia nyata tanpa merasa canggung.
Di sini penulis ingin mengangkat sisi positifnya yang jauh lebih besar jika kita dapat terhubung satu dengan yang lainnya melalu internet ketimbang menakut-nakuti efek negatif yang tentu ada solusinya dan dapat kita minimalisir.

Bermanfaat dengan saling terhubung

Pertanyaan besarnya adalah sudahkah Anda terhubung dengan netizen (warga di internet)? Pertanyaan ini khusus saya ajukan bagi Anda yang tidak tinggal di gunung tanpa koneksi internet, bagi Anda yang tinggal di daerah yang wilayahnya damai, aman dari perang tanpa ancaman, bagi Anda yang memiliki koneksi Internet walaupun lelet, bagi Anda yang berpendidikan khususnya para akademisi, guru kecil maupun guru besar, bagi Anda para pejabat pelayan masyarakat, bagi Anda masyarakat biasa yang bisa menggunakan internet atau memiliki ponsel pintar yang terhubung dengan internet.
Nah, jika Anda sudah memiliki syarat di atas maka patut dipertanyakan apa peran Anda dalam masyarakat yang katanya telah “beradab” dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang selalu disampaikan oleh khatib jumat.
Kenapa patut dipertanyakan? Karena sebagai seorang muslim, kita meyakini dan sama-sama bercita-cita menjadi manusia terbaik yaitu manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain, tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya tapi juga lingkungan masyarakat dan alam sekitar.
Dengan semakin ramainya netizen, kita tidak cukup berinteraksi dengan warga di alam nyata tapi juga perlu terhubung dengan warga di alam maya. Dengan terhubung di internet, maka potensi seseorang agar makin banyak manfaatnya terhadap sesama makin besar.
Bayangkan seorang guru kecil dan guru besar yang membantu dan menjadi inspirasi bagi miliaran orang di seluruh dunia melalui tulisan tulisannya di blog. Atau seorang birokrat yang memanfaatkan sosial media seperti facebook dan twitter untuk dapat berinteraksi dan menerima aduan dari rakyatnya. Lalu para pengusaha yang memperluas pangsa pasarnya, bersaing secara global dan melayani kebutuhan pelanggannya dengan menjual produk dan jasanya via media online.
Bahkan masyarakat biasa dengan keilmuan dan wawasan yang dimilikinya dapat berbagi ilmu dan menyampaikan ide-idenya untuk arah perubahan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Dengan terhubung melalui social media maka "gap" (kesenjangan) antara pemimpin dengan rakyat dapat diminimalisir. Rakyat akan merasa dekat dan merasa memiliki pemimpin.
Jangan seperti sekarang, pemimpin selalu harus dilayani dan mendapat fasilitas mewah dari uang rakyat sedangkan rakyat menjadi pelayan sejati pemimpin.
Ayolah, jangan alergi dan jadi beban jika dekat dengan rakyat, aktifkan akun sosial media tapi jangan sampai dijawab ajudan. Bagi penulis, sungguh lucu bila fasilitas gratis di internet ini sudah tersedia tapi tidak dimanfaatkan untuk kebaikan.
Yang mengherankan lagi, dengan teknologi sosial media yang canggih ini, pemerintah kita masih menggunakan fasilitas SMS center yang sudah ketinggalan jaman dan tidak efektif lagi.
Saya bahkan pernah mencoba SMS Senter Polda Aceh dan alhamdulillah, tidak pernah mendapat balasan apapun. Artinya tidak terjalin komunikasi dua arah antara pemimpin dengan rakyat.
Perlu diketahui, khususnya kalangan pemimpin kita di Pemerintahan Aceh, jika pemerintah kita ingin membeli salah satu saja dari perusahaan sosial media seperti twitter maka 10 tahun APBA pun belum cukup untuk membelinya. Kenapa fasilitas canggih ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan publik?
Rakyat menunggu terobosan-terobosan yang revolusioner dari para pemimpinnya, khususnya kepada kalangan pemerintah dan akademisi yang menjadi cermin kemajuan suatu bangsa.
Saya telusuri, birokrat, wakil rakyat, pengusaha dan akademisi yang terhubung dengan sosial media masih sangat sedikit. Ini menunjukkan rendahnya sifat keterbukaan dari mereka yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, khususnya kepada kalangan akademisi, para cendikiawan, para doktor, guru-guru besar yang katanya saat muda menjadi agen perubahan tapi sekarang setelah dunia berubah guru-guru kita ini tidak siap dengan perubahan dan tidak mengambil peran dalam perubahan seperti sekarang ini.
Bahkan banyak sekolah, kampus negeri dan swasta di Aceh yang belum memanfaatkan dahsyatnya kegunaan facebook dan twitter agar bisa terhubung dengan muridnya. Kita jangan hanya menyalahkan generasi muda yang salah arah dalam memanfaatkan teknologi. Boleh jadi buruknya moral generasi muda dan tua sekarang karena para pemimpin negri ini tak pernah memberi teladan dan memberi jawaban bagi masalah mereka.
Boleh jadi, seorang murid ingin berdiskusi, berinteraksi, memperoleh jawaban akan masalah hidupnya dengan para gurunya melalui facebook, twitter dan blog, tapi karena gurunya gagap teknologi, tidak memiliki akun sosial media, menganggap sepele, akhirnya si murid salah arah dan jatuh ke jurang masalah lain.
Terkadang saya iri dengan pejabat-pejabat di pusat seperti @iskan_dahlan @tifsembiring atau guru-guru besar di sana seperti @rhenaldkasali @nazarsjamsuddin @yusrilihza_mhd @mohmahfudmd yang aktif di twitter bahkan kabarnya tanpa menggunakan admin, berbagi berbagai ilmu dan wawasan.
Nah, lucunya pejabat-pejabat kita di Aceh atau guru-guru besar ketika kita ingin sarankan agar aktif di twitter malah menolak mentah-mentah dengan sejuta alasan, nanti staf saya yang uruslah, saya sibuk nggak punya waktulah, dan alasan macam-macam.
Sementara generasi muda di Aceh yang aktif di facebook dan twitter sangat berharap “teladan” mereka. Generasi muda di Aceh juga butuh guru-guru, tengku-tengku yang aktif di facebook dan twitter yang berguna sebagai tempat mereka curhat dan bertanya masalah agama.
Saat ini dakwah jangan diartikan sempit hanya di dunia saja, tapi menyampaikan kebaikan selain di bumi dan langit juga di internet.

Peran Komunitas

Memang kita sadari, minimnya sumber daya manusia yang menguasai teknologi informasi selalu menjadi kambing hitam. Ini membuktikan kenaikan gaji tidak berpengaruh kepada meningkatnya kualitas sumber daya manusia selama karakter SDM tidak berubah, karena sifat orang yang sudah digaji itu berada dalam zona nyaman dengan tanggung jawabnya sehingga akan mengeluh jika ada tanggung jawab baru yang harus dipikulnya apalagi tanggung jawabnya hanya dipikulnya sendiri.
Tapi masalah ini bukan berarti tanpa solusi, membanjirnya komunitas IT di Aceh seharusnya menjadi rujukan bagi kalangan birokrat dan akademisi untuk dapat bersinergi, tidak hanya berharap dengan SDM internal yang tersedia.
Para pihak yang berkepentingan harus merendahkan hatinya untuk bisa menerima kenyataan bahwa kurikulum dan aturan pemerintah tak dapat mampu mengejar perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis ini.
Para pemimpin perlu kebijakan-kebijakan super dengan merangkul komunitas untuk bersinergi bersama-sama memberi solusi, bukan hanya solusi berbasis proyek fisik yang setiap tahun justru menjadi mangsa para penjahat berdasi bernama koruptor tapi juga solusi berbasis program pelatihan SDM berbasis keahlian.
Mudah-mudahan para pemimpin di negeri ini yang belum punya akun twitter nanti malam segera bertobat kepada Allah swt, meminta ampun dan segera aktif terhubung dengan rakyat melalui facebook dan twitter sehingga berbagai masalah di negeri Aceh ini dapat kita temukan solusinya bersama dengan cepat dan murah. Insyaallah.

About the Author

Posted by ridhaputra on 23.23. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

By ridhaputra on 23.23. Filed under . Follow any responses to the RSS 2.0. Leave a response

0 komentar for "Kapan pemimpin negeri ini punya akun twitter?"

Leave a reply

Diberdayakan oleh Blogger.